Kisah Inspiratif, 3 Lelai Asal Papua Yang Menggeluti Profesi Sol Sepatu



Hidup memang perjuangan, setiap manusia punya jalan ceritanya masing-masing untuk tetap dapat bertahan hidup. Kali ini kita akan berbicara tentang kisa inspiratif 3 saudara lelaki asal papua, yang bertahan hidup dengan menekuni pekerjaan sebai tukang solsepatu.

Yap, 3 lelaki tersebut bernama Uge, Mika dan Oni Kiriwa. Ketiganya berasal dari Teluk Wondama Papua Barat, seperti yang sudah di jelaskan di atas, ketiganya mengais rezeki dengan cara usaha sol sepatu dan sendal di pintu masuk sebelah kanan Pasar Wosi Manokwari.

Dilansir dari jubi.tv, saat dijumpai Uge, pria bernama lengkap Yulius Kiriway nampak menggunakan kaos singlet, sembari menusuk jarum mengikuti alur sendal warna merah muda. Dengan keringatnya yang bercucuran di tengah hiruk pikuk dan lalu lalang warga pasar yang melintasi pintu masuk pasar.

Namun dengan semangat dan keseriusannya ia melayani setiap pelanggan yang datang, ia telah 5 tahun menggeluti profesi tersebut.

 “Saya bersama Kaka dan adik saya sudah menggeluti pekerjaan ini sejak lama. Saya sendiri sekitar tahun 2001, sedangkan Kaka saya yang lebih dulu setelah lepas dari pekerjaannya sebagai helper sensor [chainsaw] kayu. Ia jadi perintis bagi kami adik-adiknya,” kata Uge

Sudah berada lama di tempat tersebut, tak jarang saat ada pengunjung pasar yang datang sudah mengenalnya dengan begitu baik. Beliau biasa disapa sebagai Ompai, setiap sapaan yang diterimanya ia balas dengan senyuman hangat.

Diketahui, Uge merupakan seorang ayah dari tiga Anak. Selain bekerja sebagai tukang sol sepatu Uge juga bekerja sebagai security di Kantor Lembaga Pengembangan Pesta Paduan Suara Gerejawi di Wosi. Ia bisa membagi waktu, ketika lepas tugas sebagai security.

“Kalau tugas jaga pada malam, siangnya saya lanjut membuka lapak sol sepatu, tentu istirahat sejak barang satu jam baru saya lanjut ke Pasar Wosi,” tuturnya.

Menurutnya menjadi tukang sol sepatu dan sendal seperti ini mungkin bagi warga dari luar Papua sudah merupakan hal lumrah, namun tidak bagi Orang Asli Papua seperti dirinya. Ia memang awalnya menggeluti pekerjaan ini sebagai sampingan, meski kadang merasa kurang nyaman apalagi di Manokwari yang masih merupakan tanah tumpah darah.

“Seiring berjalan waktu saya merasa bahwa kita punya talenta, bisa melakukan hal seperti ini. Tetapi apakah kita mau atau tidak! Atau jangan-jangan kita malu karena kita dimanjakan di daerah kita sendiri,” katanya sembari tangannya tetap menusik jarum di sendal.

Lebih dari satu jam, ia terus didatangi pelanggan sekira tiga hingga empat orang. Setelah sekian tahun menjadi tukang sol sepatu, lambat laun ia mulai terbiasa. Talenta yang dimiliki berbuah hasil, meski hanya sedikit membantu ekonomi rumah tangganya.

“Yaa Puji Tuhan, dengan hasil kerja sebagai tukang sol sepatu dan sendal, saya bisa membantu keuangan di rumah. Artinya dapat menghidupi keluarga bahkan menyekolahkan anak-anak,” tuturnya.

Di samping lapak Uge, nampak seorang pria yang sudah lanjut usia. Dia juga menggeluti pekerjaan yang sama sebagai tukang sol sepatu.

“Saya sudah lama menekuni pekerjaan ini setelah bekerja sekian tahun sebagai helper sensor,” kata Mika Kiriway (60).

Lapak mereka saling berdekatan, hanya berjarak sekira tiga meter. Mika sebagai sang kakak, tak hanya menekuni sol sepatu dan sendal, ia juga kerap mengasah parang menggunakan gerinda, sebagai sampingan tambahan penghasilan.

Berbeda dengan Uge, Mika tidak punya pekerjaan sampingan selain menjadi tukang sol sepatu. Ia sesekali membuang penat dengan mencari ikan di laut, kala jenuh terus menerus berada di pasar.

“Pekerjaan saya cuma solsepatu. Kalau penat saya bisa melaut mencari ikan hanya sekadar makan, jika dapat lebih saya jual,” kata Mika Kiriway.

Sebagai Orang Asli Papua, ia tekun menggeluti pekerjaannya, sebab menurutnya tidak ada yang dapat membantu penghidupan rumah tangga selain dirinya sendiri.

“Kalau saya rajin saya dan keluarga bisa makan, tapi kalau malas mau harap siapa yang kasih uang,” tutur pria yang telah memutih rambutnya itu.

Pendapatan Tukang Sol Sepatu OAP Uge tidak menampik berkat yang ia dapat dari menekuni pekerjaan sebagai tukang sol sepatu, dapat meraup keuntungan hingga ratusan ribu setiap harinya. Seperti biasanya di Kota Manokwari, upah sepasang sepatu orang dewasa dihargai Rp50.000, berbeda dengan sepatu anak-anak yang dihargai Rp30.000.

“Kalau anak-anak saya memang beri kompensasi, sebab mereka kan sekolah. Saya juga punya anak, sehingga tidak tega memberi harga yang sama dengan sepatu atau sendal orang dewasa,” ucapnya.

Meski demikian, ia kerap mengakali beberapa orderan yang diterima, misalnya untuk sepatu atau sendal hak tinggi milik perempuan. “Kalau saya biasa terima orderan sepatu atau hak tinggi kadang saya akalin, sebab agak sulit dan penuh hati-hati jangan sampai patah,” ucapnya.

Membayar Retribusi Pasar Sebagaimana pelaku usaha lain yang berjualan di pasar, ketiga bersaudara asal Kabupaten Wondama itu patuh membayar retribusi pasar.

“Kalau retribusi pasar kita patuh, sebab itu membangun daerah. Apalagi kita membuka usaha di pasar milik Pemerintah,” tutur Uge.

Sejak melakoni pekerjaan, Uge, Mika dan Oni sebagai pelaku usaha perlu mendapat perhatian Pemerintah, terutama bantuan dana atau peralatan kerja. Namun bantuan Pemerintah Daerah seakan jauh dari mereka, selama ini mereka hanya mengandalkan modal sendiri.

“Selama ini saya tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah, entah itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten,” tutur Uge.

Meski demikian, bantuan pemerintah pernah dirasakan oleh kakaknya, Mika. Dia menyebut Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari pernah memberi bantuan uang Tunai Rp1,5 juta dan Alat kerja berupa jarum dan benang.

“Sudah lama, saya sudah lupa tapi pernah saya terima bantuan dari Pemkab Manokwari,” ucap Mika.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Warga Warbon Papuan dan Mata Air Yang Tidak Pernak Kering

Masyarakat Papua Antusias Berkumpul Untuk Mendengarkan Pidato Wapres Secara Virtual