Keluarga Korban Pembunuhan di Mimika, minta tersangka pembunuhan dan mutilasi diadili di peradilan umum


 

Emanuel Gobay, Koordinator Litigasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua,meminta seluruh prajurit Brigade Infanteri Raider/20 Ima Jaya Keramo yang menjadi tersangka pembunuhan dan mutilasi warga Nduga di Kabupaten Mimika diadili di peradilan umum, Polisi diminta mengambil alih penyidikan sedikitnya enam prajurit TNI yang diduga terlibat perkara itu.

“Kami meminta agar polisi segera mengambil alih penyidikan [kasus itu]. Segera limpahkan berkas [penyidikan] dari Polisi Militer kepada polisi. Perkara itu harus dilimpahkan  kejaksaan, dan sidangnya digelar di peradilan umum atau Pengadilan HAM,” kata Gobay dalam keterangan pers di Kota Jayapura, Senin (12/9/2022).

Gobay mengatakan ada lima kejahatan berbeda yang telah dilakukan para pelaku pembunuhan dan mutilasi empat warga yang terjadi di Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 lalu. Selain melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, para tersangka diduga juga melakukan pembunuhan berencana, pembunuhan di luar hukum, atau unlawfull killing, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

“Fakta itu menunjukan dugaan kejahatan kemanusiaan luar bisa. Agar proses itu terbuka, kami meminta agar proses pengadilan dilakukan di peradilan umum, tidak di peradilan militer. [Apalagi] pelakunya adalah warga sipil dan prajurit TNI,” kata Gobay.

Gobay mendorong peradilan koneksitas untuk memeriksa perkara itu, dengan mengadili enam prajurit TNI yang menjadi tersangka dalam kasus di peradilan umum. “Harus dibicarakan, agar pelakunya dapat disidangkan ke pengadilan umum atau Pengadilan HAM. Itu juga berdasarkan permintaan dari keluarga korban,” kata Gobay.

Gobay menyatakan seharusnya penanganan kasus itu diarahkan kepada penyidikan dugaan pelanggaran HAM berat, dan nantinya kasus itu diadili di Pengadilan HAM di Papua. “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua telah memberikan jaminan untuk bisa menggelar persidangan melalui Pengadilan HAM [di Papua],” kata Gobay.

Gobay mengkritik peradilan militer yang dinilainya lamban dalam mengadili para prajurit TNI yang melakukan kekerasan terhadap warga di Papua. Ia mencontohkan proses hukum dalam kasus penembakan Eden Bebari dan Ronal Wandik yang proses persidangannya memakan satu tahun. Gobay mengakui para pelaku dalam kasus penembakan Bebari dan Wandik dihukum berat, namun ia tidak tahu pelaksanaan putusan itu, karena kembali kepada kesatuan masing-masing tersangka.

Gobay juga mengkritik peradilan militer yang dinilainya gagal memberikan efek jera, sehingga kasus kekerasan yang dilakukan prajurit TNI di Papua terus berulang. “Pengadilan militer tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Negara [justru] memberikan peluang bagi pelaku untuk melakukan hal serupa,” katanya.

Minta sidang di Timika

Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua menyatakan keluarga korban juga meminta kasus pembunuhan dan mutilasi empat di Mimika itu disidangkan di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika. Menurutnya, keluarga korban ingin proses persidangan diketahui oleh keluarga korban dan masyarakat umum.

Kawer juga menegaskan bahwa keluarga korban berharap para tersangka kasus itu diadili di peradilan umum atau Pengadilan HAM. Kawer menilai pernyataan Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa yang menyebut prajurit TNI yang menjadi tersangka kasus pembunuhan dan mutilasi itu akan diadili di Kota Jayapura dan Makassar terkesan seperti desain praktik impunitas bagi pelaku.

“Jadi pernyataan Pangdam itu bertentangan dengan [keinginan] keluarga korban. Itu menjadi kontradiksi. Saya berfikir, itu wajah aparat keamanan TNI, yang selalu mengatur desain impunitas bagi pelaku. Itu cara-cara impunitas, dengan desain mengalihkan [lokasi persidangan di tempat yang] jauh, supaya jauh dari perhatian masyarakat, tidak terpantau,” kata Kawer.

Kawer menyatakan masyarakat di Papua tidak mengetahui hasil proses hukum dalam berbagai kasus kekerasan prajurit TNI yang terjadi di Intan Jaya, Puncak, Nduga dan Timika, di mana para pelaku diadili, namun tidak ada titik terang bagi keluarga korban karena lokasi persidangan yang jauh dari keluarga korban. Kawer menilai proses persidangan peradilan militer juga terlalu tertutup.

“Saya kasih contoh, pelaku pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani, sampai saat ini proses persidangannya tidak kelihatan dan tidak terpublikasi, masyarakat tidak tahu prosesnya, Kemudian [kasus] pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Intan Jaya. Penembakan anak di bawah umur di Intan Jaya. Juga sidang kasus penembakan Ronny Wandik dan Eden Bebari. Keluarga korban dan kami tidak tahu ujungnya sampai di mana,” katanya.

Selaku kuasa hukum keluarga, Kawer meminta TNI menghentikan cara-cara lama yang membuat keluarga korban tidak merasa mendapatkan keadilan. Ia juga meminta pemerintah pusat berempati kepada keluarga korban, dengan memenuhi permintaan keluarga korban yang berharap kasus pembunuhan serta mutilasi itu disidangkan di peradilan umum yang ada di Timika.

“Kami meminta DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk bicara, agar kita tidak dipermainkan dalam kondisi seperti begini. Aparat keamanan menganggap mereka itu pemilik Negara, sehingga mereka asal saja bunuh orang. Kita harus bicara supaya mereka jangan menganggap kita tidak ada,” katanya

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Warga Warbon Papuan dan Mata Air Yang Tidak Pernak Kering

Kisah Inspiratif, 3 Lelai Asal Papua Yang Menggeluti Profesi Sol Sepatu

Masyarakat Papua Antusias Berkumpul Untuk Mendengarkan Pidato Wapres Secara Virtual