Dialog Jakarta-Papua tuntutan dan Pemberantasan korupsi

 


Karya: Thomas Ch Syufi


Korupsi harus menjadi musuh bersama, termasuk masyarakat Papua, karena dianggap sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Namun, antusiasme rakyat Papua dalam mendukung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk memberantas korupsi tampaknya tidak signifikan, bahkan nyaris redup ketimbang tuntutan dialog yang selalu digaungkan untuk penyelesaian masalah status politik dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tahun 1961 – 2022.

Banyak pejabat Papua yang telah menjadi tersangka, terdakwa, hingga divonis pengadilan atas kasus korupsi oleh KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Mereka antara lain, Barnabas Suebu (mantan Gubernur Papua), David Hubi (mantan Bupati Jayawijaya), John Gluba Gebze (mantan Bupati Merauke), Daud Solemen Betawi (mantan Bupati Yapen Waropen), John Ibo (mantan Ketua DPR Papua), Yusak Yaluwo (mantan Bupati Boven Digoel), Wahidin Puarada (mantan Bupati Fakfak), Thomas Ondy (mantan Bupati Biak Numfor), Eltinus Omaleng (Bupati Mimika), dan Lukas Enembe (Gubernur Papua).

Hanya saja langkah penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Papua, tidak banyak mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat Papua. Masyarakat justru cenderung resisten terhadap penegak hukum dan memihak tokoh-tokoh Papua ini atas jasa dan pengabdiannya, untuk kemajuan dan kesejahteraan, serta bantuan yang kerap diberikan untuk masyarakat lebih besar manfaatnya, ketimbang kasus yang dituduhkan.

Masyarakat kerap menilai bahwa para kepala daerah ini menjadi korban konspirasi dan rekayasa politik dari individu atau kelompok kepentingan tertentu, yang memperalat lembaga hukum untuk memberangus lawan-lawan politiknya: “mengkriminalisasi” mereka.

Misalnya, Gubernur Papua Lukas Enembe (LE) yang kini menjadi tersangka kasus korupsi oleh KPK atas dugaan suap dan gratifikasi uang 1 miliar rupiah yang mengalir masuk ke rekening pribadinya. Kasus yang tengah menyedot perhatian publik, termasuk media massa dan para netizen di seluruh Indonesia ini, menimbulkan problematika dan kontroversi yang sengit dalam proses penegakan hukum.

Lembaga antirasuah atau KPK tidak melakukan proses hukum yang baik dan benar (due process of law), hingga secara sepihak menetapkan LE sebagai tersangka atas dugaan kasus suap dan gratifikasi, tanpa meminta keterangan terlebih dahulu kepada minimal dua orang saksi, termasuk LE sebagai calon tersangka sesuai pasal 184 bagian (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab dari mana KPK dapat mengetahui bahwa uang 1 miliar rupiah yang mengalir ke rekening pribadi LE adalah hasil skandal suap dan gratifikasi?

Ini irasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum, hingga dianggap persangkaan LE oleh KPK cacat hukum (formil), sebagaimana ditegaskan dalam postulat hukum: ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).

Jelas bahwa persangkaan LE oleh KPK tidak memiliki dasar yuridis dan menjauhkan hukum dari tujuannya, yaitu, keadilan kepastian hukum, dan kemanfaatan. Bukan soal LE takut menghadapi proses hukum atau tidak bertanggung jawab atas perbuatan pidananya dengan melakukan obstruction of justice (merintangi proses penyidikan KPK) dan lain sebagainya, tetapi ini lebih pada problem penerapan hukum yang tidak adil.

KPK menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum pasti timbul ketidakadilan (law enforcement without justice), menegakkan hukum tanpa keadilan, itu akan merusak peradaban hukum itu sendiri. Nampak negara hukum semakin menunjukkan rule by law (hukum digunakan untuk kepentingan kekuasaan), bukan rule of law (hukum digunakan untuk kepentingan keadilan, hormati hak asasi manusia, dan perlakukan yang sama di depan hukum, equality before the law).

Kondisi tersebut mengingatkan kita pada kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, “… atas nama hukum dengan nyawa manusia dihabisi, atas nama hukum siapa pun yang berbeda ditangkap, atas nama hukum keadilan dan perlakukan yang sama diabaikan,” (Sindonews.com, 13/12/2022).

Padahal, negara hukum menurut Aristoteles (384-322), filsuf Yunani kuno dan murid Plato adalah negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan bagi semua warga negaranya. Atau oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar Hukum Tata Negara dan Ketua MK pertama (2003-2008), mengatakan, ”Penegakan hukum pada pokoknya merupakan proses menegakkan nilai-nilai keadilan, bukan sekadar menegakkan peraturan tertulis yang bersifat tekstual, formal, positivistik, dan mekanistik. Yang harus ditegakkan tidak lain adalah keadilan sebagai roh dari setiap norma hukum.

Selain itu, bila KPK ingin memberantas korupsi di Papua harus berlaku adil, dengan berani mengusut semua elite Papua, terutama para bupati, wali kota, dan gubernur yang pernah menggarong atau menikmati dana otonomi khusus (otsus) sejak diimplementasikannya di tanah Papua tahun 2002-2022 yang tak kurang dari 94,24 triliun rupiah.

Bukan sebaliknya menerapkan teori generalisir dengan membebankan (menuduh) semua penyalahgunaan dana Otsus Papua selama 20 tahun itu hanya kepada Gubernur Lukas Enembe.

Ketidakadilan proses hukum terhadap LE ini membuat orang Papua makin tidak percaya kepada KPK sebagai lembaga antirasuah. Publik akan mensinyalir bahwa persangkaan LE oleh KPK adalah sebuah upaya pemaksaan atau kriminalisasi dan rekayasa politik sebagai hasil konspirasi KPK dengan kelompok kepentingan (interest group) di level nasional.

Sebab, penerapan hukum yang tidak mencerminkan fair trial dan kurang objektif ini menimbulkan sikap pro-kontra antarsesama masyarakat Papua.

Sebagian orang Papua menunjukkan sikap resisten terhadap KPK, dan sebagian juga mendukung proses hukum terhadap LE dilanjutkan. Para pendukung LE melakukan demonstrasi menolak persangkaan KPK terhadap mantan Bupati Puncak Jaya kurun 2007-2012 tersebut di beberapa tempat, seperti Manokwari, Jakarta, termasuk Jayapura yang digelar 20 September 2022. Bahkan penjagaan super ketat juga dilakukan oleh massa pendukung LE di rumah pribadinya di Koya, Kota Jayapura hingga sekarang.

Ini menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap KPK tergerus, mengalami ‘delegitimasi’ karena selama ini KPK dinilai terlalu banyak masuk ke wilayah politik dan tercebur dalam lumpur politik kepentingan, termasuk secara mendadak (prematur) mentersangkakan LE atas dugaan kasus suap dan gratifikasi dana 1 miliar rupiah. Diduga tindakan KPK ini bukan murni alasan yuridis atau penegakan hukum (law enforcement), tetapi penuh intrik dan konspirasi politik yang dimotivasi oleh faktor like and dislike terhadap LE sebagai Gubernur Papua.

Gambaran tersebut dapat disimpulkan menjadi tiga alasan mengapa orang Papua kurang antusias dan serius mendukung penuh KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah Papua, terutama kasus dugaan suap dan gratifikasi oleh Lukas Enembe.

Pertama, selain kondisi kesehatan yang memburuk, tetapi juga karena proses persangkaan LE oleh KPK dinilai kurang objektif dan jauh dari aspek hukum dan keadilan. KPK terlampau jauh masuk pada pokok perkara (materil) dengan mentersangkakan LE tanpa bukti permulaan, yang diperoleh terlebih dahulu melalui keterangan dari minimal dua orang saksi, termasuk terduga penerima suap dan gratifikasi, LE.

Meski KPK menggunakan UU KPK baru hasil revisi Nomor 19 Tahun 2019 sebagai lex specialis untuk menjalankan pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast), KPK harus memanggil LE untuk memberi klarifikasi lebih dahulu seputar status uang yang diduga hasil suap dan gratifikasi tersebut, bukan langsung mentersangkakannya, hingga dianggap KPK mengkriminalisasi LE;

Kedua, diduga KPK mentersangkakan LE merupakan sebuah upaya pengalihan isu atas kasus penyiksaan dua warga Papua di Mappi yang menewaskan Bruno Amenim Kimko (29) oleh prajurit TNI Batalyon Infanteri Raider 600/Modang pada 30-31 Agustus 2022, kasus Paniai Berdarah (2014) yang tengah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar, dan kasus 6 oknum TNI dengan melibatkan warga sipil membunuh dan memutilasi 4 warga Papua di Mimika, 22 Agustus 2022.

Ini merupakan tragedi dan menjadi bagian kehidupan orang Papua. Juga sebagai peristiwa yang membuat lembaran sejarah kekerasaan Papua berisi “tinta hitam”.

Bahkan kasus mutilasi di Mimika telah merembet dan menjadi empati masyarakat internasional, dan hangat dibahas di panggung global, seperti forum Pasifik dan Dewan HAM PBB;

Ketiga, orang Papua tidak peduli atau menyoal tentang berbagai kasus korupsi dan kemiskinan di tanah Papua, karena masalah pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua adalah bagian terkecil atau hal minor dari tuntutan utama rakyat Papua yang belum pernah digubris oleh pemerintah Indonesia, yaitu, penyelesaian masalah status politik dan penuntasan kasus pelanggaran HAM Papua yang terjadi sejak tahun 1961-2022. Karena, persoalan aneksasi politik dan pelanggaran HAM yang masif dan kronis di Papua tidak sekadar dijawab (disogok) dengan menggelontorkan anggaran yang begitu besar, menggenjot berbagai pembangunan fisik berupa jalan, jembatan, dan pelabuhan laut serta bandar udara, tetapi harus dijawab dengan pelurusan sejarah dan pertanggungjawaban hukum yang adil dan bermartabat.

Maka, untuk merebut kembali kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat, termasuk mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi di tanah Papua, terlebih dahulu pemerintah pusat harus menuntaskan akar masalah Papua. Yaitu klarifikasi sejarah status politik Papua dalam NKRI dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, dengan membuka ruang dialog yang adil, jujur, damai, serta bermartabat antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia, yang dimediasi oleh pihak netral yang disepakati oleh rakyat Papua (diwakili United Liberation Movement for West Papua atau Persatuan Gerakan untuk Pembebasan Papua Barat/ULMWP) dan pemerintah Indonesia.

Melalui jalan dialog, kedua pihak memiliki posisi tawar yang sejajar (bargaining position), maka niscaya segala keputusan tentang proyeksi masa depan orang Papua dalam NKRI akan konsisten dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Juga, termasuk penentuan sistem pengadilan terhadap pelaku dan para pihak yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan di “Bumi Cenderawasih” bisa terlaksana secara jujur dan benar, hingga memenuhi rasa keadilan rakyat Papua.

Bukan sebaliknya sistem peradilan—yang dibentuk dan dilaksanakan menurut keinginan pemerintah Indonesia—hingga banyak melahirkan miscarriage of justice (peradilan sesat) yang kian menjauhkan orang Papua dari rasa keadilan dan menambah daftar panjang korban kekerasan di tanah Papua! 

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Warga Warbon Papuan dan Mata Air Yang Tidak Pernak Kering

Kisah Inspiratif, 3 Lelai Asal Papua Yang Menggeluti Profesi Sol Sepatu

Masyarakat Papua Antusias Berkumpul Untuk Mendengarkan Pidato Wapres Secara Virtual