Pengibar Bendera Bintang Kejora Di Gor Cendrawasih Di Dakwa Makar Terancam Penjara Seumur Hidup
![]() |
Sumber: Google |
Sebelumnya terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di Gor Cendrawasih, pengibaran tersebut dilakukan oleh 7 orang diantaranya:
Melvin Yobe berusia 29
tahun.
Melvin Fernando Waine 25
tahun.
Devion Tekege 23 tahun.
Yosep Ernesto Matuan 19 tahun.
Maksimus Simon Petrus You 18 tahun.
Lukas Kitok Uropmabin 21
tahun.
Ambrosius Fransiskus
Elopere 21.
Ketujuh orang tersebut,
kini di dakwa telah melakukan makar. Dakwaan itu dibacakan Jaksa Penuntut Umum
dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura pada Selasa (17/5/2022).
Dalam persidangan yang
dipimpin Hakim Ketua RF Tampubolon SH bersama Hakim Anggota Iriyanto T SH dan
Thobias B SH, Jaksa Penuntut Umum menyatakan Melvin Yobe dan kawan-kawannya
merencanakan dan terlibat dalam aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di GORCenderawasih pada 1 Desember 2021.
Saat membacakan dakwaan
secara bergantian, Jaksa Penuntut Umum Achmad Kobarubun SH dan Yanuar Fihawiano
SH menyatakan Melvin Yobe dan kawan-kawan kemudian berpawai dari GOR Cenderawasih
menuju Kantor DPR Papua.
Jaksa Penuntut Umum menyatakan dalam pawai itu Melvin
Yobe dan kawan-kawan menyerukan yel “Kami bukan Merah Putih, kami Bintang
Kejora”. Mereka juga meneriakkan pekik “Papua merdeka”, dan membawa spanduk
bertuliskan “Indonesia Harus Membuka Akses bagi Investigasi Komisi Tinggi HAM
PBB”.
Dalam dakwaan primair, Jaksa Penuntut Umum menyatakan
pengibaran Bintang Kejora oleh Melvin Yobe dan kawan-kawan merupakan perbuatan
makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara jatuh ke
tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara, sebagaimana diatur Pasal
106 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Atas perbuatan tersebut ketujuh orang terancam hukuman
maksimal pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh
tahun. Dalam dakwaan subsidair, Jaksa Penuntut Umum menyatakan pengibaran
Bintang Kejora oleh Melvin Yobe dan kawan-kawan merupakan permufakatan untuk
melakukan makar, sebagaimana diatur Pasal 110 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Perbuatan itu juga diancam hukuman maksimal pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun. Usai
pembacaan dakwaan itu, Koordinator Litigasi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia
Papua, Emanuel Gobay meminta majelis hakim memberikan waktu satu minggu untuk
menyiapkan eksepsi bagi ketujuh terdakwa. Hakim Ketua RF Tampubolon SH menunda
sidang hingga 24 Mei 2022, dengan agenda mendengarkan eksepsi ketujuh terdakwa.
Seusai persidangan, Gobay
menyatakan beberapa barang bukti yang digunakan Jaksa Penuntut Umum
mengada-ngada. Gobay mencontohkan, yel-yel yang digunakan ketujuh terdakwa itu
dipersoalkan, padahal yel-yel itu dibuat untuk menyemangati aksi, demonstrasi
ataupun mimbar bebas.
“Lucunya yel-yel itu
dipakai untuk dasar penuntutan. Dari awal kami melihat bahwa kasus itu
dipaksakan, dan ada indikasi bahwa [perbuatan] ketujuh terdakwa dikriminalisasi
dengan pasal makar,” ujarnya.
Gobay menyatakan apa yang
dilakukan ketujuh kliennya merupakan bagian dari perayaan hari bersejarah bagi
orang Papua. Gobay juga menyinggung amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) tentang pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua.
Gobay menyatakan UU Otsus Papua jelas mengakui adanya fakta sejarah Papua.
“[Akan tetapi], di sini
negara melalui aparat hukumnya menangkap orang yang merayakan sejarah politik
Papua. Kami minta dengan tegas, bahkan kami ajak kepada aparat penegak hukum,
mari bersama-sama tegaskan kepada negara untuk segera bentuk KKR untuk
melakukan pelurusan sejarah, biar tidak terjadi praktik penangkapan
sewenang-wenang yang berujung kepada kriminalisasi [menggunakan] pasal makar,”
ujar Gobay.
Comments
Post a Comment