Kisah Abraham ASN Papua Menjadi Tawanan 130 Hari Oleh Kelly Kwalik
Sumber: Google |
Kisah abraham wangai, pensiunan ASN Dinas Kehutanan Provinsi Papua yang pernah mengalami kisa mencekam dalam hidupnya. Dimana abraham pernah menjadi tawanan pentolan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalikdi kawasan Nduga dan Mapenduma. Ia dan kawan-kawannya ditahan semalam 130 hari.
Dimana selama 130 hari
tersebut, ia hanya berputar-putar di wilayah Kenyam dan Mapenduma dengan
todongan senjata yang mungkin akan melukai mereka,
Kala itu yang menjadi rekan
abraham sebagai sandera ialah, tim Lorenzt 1995 dan mahasiswa UniversitasNasional jurusan Biologi, di seputar kawasan milik suku Nduga.
Selama menjadi sandera, ia
dan kawan –kawannya harus menyadari ketinggian dari meter dari permukaan laut,
menahan dingin dan tiupan angin gunung yang kencang dan kuat.
“Butiran embung di pagi hari juga menambah
bekunya badan ini, apalagi kitorang ini orang pantai ,”kenang Paitua Wanggai
ini.
Berbeda dengan KellyKwalik dan kawan kawan komandan TPN OPM di kawasan Mapenduma. “Bagi mereka
dingin dan berjalan, bahkan berlari di ketinggian adalah hal yang biasa,” kata
Wanggai.
Dia mengaku kawannya sesama korban sandera
sudah tak pernah kontak lagi, bahkan salah seorang rekan dosen antropolog
Markus Warip sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
“Praktis hubungan komunikasi terputus dan saya
sendiri sudah pensiun dari ASN Dinas Kehutanan Provinsi Papua 2018 dan tepat
usia 58 tahun,” katanya.
kisah Abraham Wanggai dan
kawan- kawasan saat disandera berhasil ditulis oleh Ray Rizal dan Nina Pane
sebagaimana dituturkan Adinda Arimbi Saraswati, peneliti bidang hayati dari
Universitas Nasional Jakarta. Buku setebal 325 halaman itu diberi judul
“ Sandera, 130 hari
terperangkap di Mapenduma ” terbitan Pustaka Sinar Harapan, 1997.
“Di samping itu kami mempelajari bentuk,
pemanfaatan dan jenisnya, serta masalah utama yang berkaitan dengan TamanNasional Lorenzt dengan mengkombinasikan pemikiran ilmiah dan kebijakan
berpikir tradisional suku Nduga,” kata Adina Arimbi Saraswati peneliti dari
Universitas Nasional Jakarta.
Tim Lorenzt 95, saat itu
dibentuk berdasarkan kerja sama Biological Science Club (BScC) dari Indonesia
dengan Emanuel College Cambridge University. Kegiatan penelitian ini dilakukan
selama November 1995 sampai Januari 1996, berlokasi di Kampung Mapenduma,
Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya yang letaknya di bagian Timur Laut Cagar Alam
Lorentz yang kini menjadi Taman Nasional Lorenzt.
Menurut Adinda Saraswati
tim peneliti dari Indonesia adalah Navy WTH Panekenan, Matheis Y Lasamahu,
Jualita Tanasale.Sedangkan anggota tim dari Inggris melibatkan Daniel Start,
William Bill Oates, Anette van der Kolk dan Anna McIvor. “Tim kami dibantu oleh
antropolog Markus Warip dari Universitas Cenderawasih dan Abraham Wanggai dari
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kanwil Kehutanan Provinsi Irian
Jaya,” kata Adinda.
Dia menuturkan ada pula
putra asal Nduga, Jacobus Wandikbo pegawai dari Pemda Kabupaten Jayawijaya yang
diperbantukan sebagai pendamping Inpres Daerah Tertinggal (IDT) di Nduga.
Selama dalam penyanderaan
di Mapnduma, Silas Kogoya mengawal mereka di kamp dengan sebelumnya melakukan
long march mengitari kawasan Kenyam. Silas Kogoya yang selama ini peduli
tentang makan dan minum para sandera, Namun akhirnya meninggalkan mereka karena
mungkin sudah jenuh. Terpaksa Abraham Wanggai dan kawan menemukan tikus tanah
untuk dimakan.
Beruntung dosen
antropolog Markus Warip memiliki pengalaman memasak tikus sehingga makanan itu sudah bekal
sarapan dan makan siang selama penyanderaan itu. Negosiasi Kelly Kwalik dengan
ICRC International Committee of The Red Cross Regional Delegation in Jakarta
pun sia-sia dan tak berhasil berhasil para sandera.
Namun selama sebulan ICRC terus mengikuti
perkembangan penyanderaan dari pemberitaan media. Dalam buku itu Adinda
mengatakan kekasihnya Navy dan teman lainnya Matheis dibantai hingga kehilangan
nyawa dalam peristiwa penyanderaan tersebut.
Di tengah perjuangan
menyelamatkan diri dari menghadap ke atas, suara teriakan minta tolong didengar
oleh anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Kami terus berlari
sampai dari jelas. bayangan hitam tapi tak siapa pun.Aku berteriak-teriak,
“Tolong,tolong saya sandera.” Kata Adinda
Saraswati dalam buku tersebut. Selanjutnya salah seorang dari anggota ABRI
mengadu,”Kami ABRI Batalyon 330.” Mereka semua selamat hanya Navy dan Matheis
yang menjadi korban dalam akhir penyanderaan itu.
Bagi Abraham Wanggai
peristiwa penyanderaan ini meninggalkan trauma yang sangat mendalam dan kini
mulai melupakan peristiwa mencekam. Mapenduma kini menjadi bagian dari wilayah
Kabupaten Nduga sejak 2008 awalnya nama sebuah distrik dengan luas adalah 2.202
KM2 atau 17 persen dari total luas wilayah kabupaten Nduga Provinsi Papua.
Comments
Post a Comment